4 Pelajaran yang Bisa Dipetik dari Film The Breadwinner

Parvana - The Breadwinner
Gambar: thebreadwinner.com

Ladies, adakah di antara kalian yang sudah nonton film The Breadwinner? Film animasi besutan sutradara Nora Twomey yang diproduseri oleh Angelina Jolie ini dirilis pada tahun 2017. Diangkat dari novel best seller karya Deborah Ellis, The Breadwinner berkisah tentang Parvana, seorang gadis kecil berusia 11 tahun, yang tinggal di Kota Kabul, Afghanistan, yang dikuasai oleh Taliban.

Film ini mengangkat kenyataan pedih tentang kehidupan masyarakat—khususnya perempuan dan anak-anak—di daerah konflik. Di bawah rezim Taliban, ayah dan ibu Parvana kehilangan pekerjaan mereka. Ayahnya (dulu) adalah seorang guru, sementara sang ibu adalah penulis. Dari orang tuanya yang berpendidikan, Parvana belajar membaca dan menulis. Dia pun suka mendongeng.

Perempuan di Afghanistan tak memiliki hak yang  sama dengan laki-laki. Mereka dilarang beraktivitas keluar rumah tanpa ditemani ayah atau saudara laki-lakinya. Sebelum sang ayah ditangkap, kesempatan Parvana untuk melihat dunia luar hanyalah ketika menemani sang ayah berjualan di pasar.

Setelah ayahnya ditangkap tanpa alasan yang jelas, Parvana harus menafkahi keluarganya—ibu, kakak perempuan, serta keponakannya yang masih balita—dengan menyamar sebagai anak laki-laki. Ia memotong pendek rambutnya dan berpakaian layaknya anak laki-laki, demi dapat keluar rumah untuk berjualan di pasar dan berbelanja bahan makanan dengan bebas, tanpa menarik perhatian.

the breadwinner
Parvana dan keluarganya. (Gambar: thebreadwinner.com)

Selain menunjukkan bahwa perempuan sebenarnya memiliki kemampuan yang setara dengan laki-laki, ada beberapa pelajaran lain yang bisa kita petik dari film The Breadwinner, yakni:

1. Berpikirlah dengan cerdik dan bertindak dengan berani

Parvana adalah gadis kecil yang cerdik dan berani. Ketika ayahnya ditangkap dan keluarganya kelaparan karena tak ada yang bisa berbelanja di pasar, Parvana tidak terpuruk dalam kesedihan dan keputusasaan. Ia malah berinisiatif untuk memotong rambutnya (dibantu oleh sang kakak) dan menyamar sebagai anak laki-laki.

Alih-alih bersikap seperti korban, si kecil Parvana justru bangkit untuk menghidupi keluarganya tanpa mengeluh sedikitpun.

2. Pantang putus asa, selalu optimistis dan berpengharapan

Parvana memiliki seorang sahabat perempuan yang juga menyamar sebagai laki-laki. Namanya Shauzia, teman sekolahnya dulu. Meski tinggal di daerah konflik, keduanya tetap optimistis dan memiliki mimpi. Parvana ingin melihat ayahnya kembali, sementara Shauzia sangat ingin meninggalkan Kabul dan pergi ke daerah di mana terdapat pantai.

Sehari-hari, mereka bekerja keras—bahkan menukang—untuk mendapatkan uang agar bisa menabung. Parvana menabung agar bisa menemui ayahnya di penjara—karena menurut Shauzia, penjaga penjara bisa disuap dengan uang yang banyak. Sementara Shauzia menabung agar bisa keluar dari Kabul menuju tempat yang ia impikan.

3. Menolong orang tanpa pamrih

Suatu hari ketika Parvana berjualan di pasar, seorang laki-laki—namanya Razaq—mendatanginya dan memintanya untuk membacakan sebuah surat. Rupanya surat tersebut berisi kabar sedih yang menceritakan bahwa istri Razaq meninggal dunia dalam sebuah kecelakaan. Itu adalah awal pertemanan Parvana dengan Razaq, yang ternyata memiliki seorang sepupu yang bekerja di penjara tempat ayahnya ditahan.

Razaq yang sedih meminta Parvana mengajarinya menulis. Suatu saat Parvana terdesak karena kerabat ayahnya hendak datang dan menjemput keluarganya meninggalkan Kabul menuju Mazar-e-Sharif, daerah yang belum dikuasai Taliban dan di sana terdapat sekolah untuk anak-anak perempuan. Padahal, ia belum bertemu dengan ayahnya. Singkat cerita, akhirnya Razaq lah yang membantu Parvana dan mengeluarkan ayahnya dari penjara.

Nah, moral ceritanya, jangan ragu untuk menolong orang lain dan lakukanlah tanpa pamrih, karena kebaikan yang kita lakukan untuk orang lain pasti akan kembali kepada kita.

4. Keluarga adalah harta yang paling berharga

Parvana melakukan perbuatan-perbuatan berani dilandasi rasa cintanya kepada keluarga. Rasa cinta itu pulalah yang membuatnya kuat dan selalu penuh pengharapan. Parvana pun tahu bahwa ketika sang ayah ditangkap, ibu dan kakak perempuannya melihat ia sebagai satu-satunya harapan mereka untuk bertahan hidup. Meski begitu, hal itu tidak dirasakan Parvana sebagai beban.

Bukan Parvana saja yang berusaha untuk melindungi keluarganya. Ibunya pun juga. Sang ibu mengirim surat kepada kerabat ayahnya untuk menjemput mereka untuk keluar dari Kabul, dan sang kakak rela dijodohkan dengan seorang pria sebagai gantinya. Sebagai keluarga, mereka rela berkorban serta saling menjaga dan melindungi.

 

Film ini mengingatkan kita bahwa masih banyak perempuan muda yang hidup dalam dunia yang keras, penuh konflik dan penindasan. Mereka, seperti Parvana, juga harus membantu keluarganya untuk bertahan hidup. Film ini tampaknya juga berusaha untuk menumbuhkan harapan akan masa depan yang lebih baik serta kesetaraan bagi perempuan.

Fyi, The Breadwinner menjadi salah satu film yang ditayangkan dalam gelaran 2018 Europe on Screen yang diadakan di Jakarta, Bandung, Medan, Denpasar, Surabaya, dan Yogyakarta pada tanggal 3—12 Mei 2018. Info mengenai film-film yang ditayangkan, berikut dengan jadwal dan lokasinya bisa kamu cek langsung di sini. 🙂

About Restituta Arjanti

Biasa dipanggil dengan nama tengahnya, Ajeng. Ia memulai kariernya sebagai Jurnalis. Dengan pengalaman lebih dari sepuluh tahun di Industri Media dan Teknologi, sekarang ia aktif sebagai penulis dan editor profesional serta konsultan di bidang Media, Konten, dan Public Relations.

View all posts by Restituta Arjanti →

2 Comments on “4 Pelajaran yang Bisa Dipetik dari Film The Breadwinner”

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *