Kamu merasa baru saja melalui wawancara kerja tahap pertama dengan sukses. Si pewawancara terlihat antusias ketika berdiskusi dengan kamu tentang tanggung jawab yang akan kamu emban kelak di perusahaan mereka. Saking antusiasnya, bahkan dia langsung memberi kamu tawaran pekerjaan dan menyebut besaran gaji yang akan kamu terima. Well, it sounds too good to be true ya, Ladies. Mungkin itu harapan semua pencari kerja.
Jika itu terjadi pada dirimu, kamu boleh—bahkan harus tetap—optimistis. Namun, jangan langsung meletakkan semua harapanmu untuk perusahaan tersebut, selama belum ada offer letter atau perjanjian tertulis dengan mereka. Jika kamu sudah punya track record yang baik—taruhlah misalnya kamu sudah punya pengalaman kerja lebih dari lima tahun di industri yang kamu geluti dan punya banyak pencapaian—maka kamu punya alasan untuk mempertimbangkan sebuah pekerjaan dengan matang, karena ada reputasi yang perlu kamu jaga.
Meski begitu, tak bisa dipungkiri terkadang emosi atau euforia sesaat bisa membuat kita salah mengambil keputusan. Itulah mengapa kita perlu belajar untuk mengendalikan emosi dan memperhatikan sikap dan tutur kata si pewawancara. Jika kita cukup peka memperhatikan, bisa ada beberapa petunjuk yang bisa membantu kita dalam mengambil keputusan.
Should you take the job or should you not? Jika kamu menemukan tanda-tanda berikut dalam wawancara kerja, maka ada baiknya kamu mempertimbangkan ulang tawaran pekerjaan dari perusahaan yang kamu lamar:
Pewawancara bertanya dan merujuk pada satu agama tertentu.
“Agama kamu (menyebutkan salah satu agama tertentu), kan?”
Jika kamu pekerja berpengalaman yang sering berinteraksi dengan para profesional di industri yang kamu geluti, pertanyaan ini kemungkinan besar akan membuat keningmu berkerut.
Pertanyaan tentang agama adalah pertanyaan yang personal dan cenderung sensitif, apalagi jika merujuk pada satu agama tertentu. Umumnya informasi tersebut juga tidak ditanyakan secara lisan dalam sebuah wawancara kerja, tapi terselip dalam formulir data yang harus diisi oleh calon karyawan atau karyawan baru di suatu perusahaan.
Wawancara kerja pertama yang umum lebih fokus membahas tentang pengalaman kerja dan prestasi yang pernah diraih oleh si pelamar. Perusahaan, melalui si pewawancara, dapat menilai kecakapan pelamar dari jawaban-jawaban yang dia berikan serta dari cara dia menyampaikan jawaban-jawaban itu. Lagi pula, bukankah seharusnya memang itu yang menjadi alasan mereka mengundang kita menghadiri wawancara kerja—karena kita memiliki skill yang mereka butuhkan?
Pewawancara dengan gamblang mengatakan tak ada budaya kekeluargaan di perusahaan yang kamu lamar.
Budaya perusahaan merupakan nilai dan perilaku yang dianut oleh sebuah perusahaan dalam menjalankan bisnisnya. Bisa kamu bayangkan seperti apa budaya kerja di perusahaan yang kamu lamar jika HRD atau founder atau CEO mengatakan hal tersebut kepada kamu? Terlebih lagi kamu adalah pekerja profesional dengan banyak pengalaman.
“Tidak ada budaya kekeluargaan di perusahaan ini. Yang ada adalah kerja, kerja, dan kerja!”
Perkataan tersebut mungkin masih bisa diterima di masa lampau, tapi yang pasti bukan di zaman now, di mana tengah terjadi pergeseran generasi dalam dunia kerja. Ladies, konteks “kerja, kerja, dan kerja” di sini berbeda dengan maksud dari semboyan Pak Jokowi untuk pembangunan Indonesia, loh ya! 😉
Ketika pewawancara mengungkapkan hal tersebut dalam sebuah wawancara kerja, maka tak salah jika kita berpikir bahwa perusahaan tersebut dipimpin oleh seorang yang keras dan otoriter. Satu lagi, jangan harap akan ada work-life balance ketika kamu bekerja di perusahaan itu.
Sejatinya, setiap perusahaan yang baik memahami tentang pentingnya budaya dan menghormati para profesional yang mereka undang dalam wawancara kerja—sama seperti sejatinya, setiap profesional harus siap dengan konsekuensi dari profesi yang ia geluti, yakni kerja keras.
Ungkapan ini keluar dari mulut si CEO dalam wawancara, “Banyak yang bilang, bekerja dengan saya itu tidak mudah.”
Kamu akhirnya bertemu langsung dengan CEO perusahaan dalam wawancara kerja dan ia mengatakan hal tersebut. Ladies, apa yang ada di benakmu? Kemungkinan kamu akan merespons ucapan itu dengan senyum, dan berpikir keras dalam hati tentang maksudnya mengatakan hal tersebut dalam wawancara kerja.
Sambil tetap berpikir positif, anggaplah itu memang caranya untuk mempersiapkan diri kamu agar tidak kaget ketika benar-benar bekerja dalam timnya, atau anggap itu adalah cara dia menantang sisi intelektual kamu. Namun di sisi lain, kamu juga perlu ingat bahwa hubungan dengan atasan merupakan salah satu hal yang paling sering menimbulkan drama di tempar kerja.
Coba bandingkan calon bos kamu ini dengan bos kamu sekarang. Jangan-jangan alasan kamu ingin resign dan pindah kerja adalah karena jenuh saja, padahal kamu sudah cukup beruntung karena memiliki sosok bos idaman.
Jika CEO perusahaan yang kamu lamar sampai mengatakan bahwa bekerja dengan dirinya bukan hal mudah, maka kemungkinan dia memang orang yang perfeksionis dan micromanage. Jika kamu menganggap ini adalah sebuah tantangan sehingga kamu memutuskan untuk menerima dan menandatangani offer letter dari mereka, maka pastikan kamu memang sudah siap dengan segala konsekuensinya.
Pewawancara menyelipkan gurauan dalam wawancara.
Wawancara kerja adalah hal yang serius, tapi bisa saja yang berhadapan dengan kamu adalah tipe pewawancara yang kurang memahami batasan. Meski begitu Ladies, wajar jika sesaat kamu merasa ilfeel (hilang feeling) dengan pekerjaan dan perusahaan yang kamu lamar jika bertemu dengan pewawancara yang suka bergurau tidak pada tempatnya.
“Tidak ada budaya kekeluargaan di perusahaan saya ini. Yang ada adalah kerja, kerja, dan kerja. Haha, bercanda kok…”
“Banyak lho yang bilang, bekerja dengan saya itu gak mudah. Hehehe, I’m kidding…”
Seandainya candaan yang dilontarkan berhubungan dengan proses dan budaya kerja di perusahaan tersebut, tak salah jika kamu merasa bingung. Ini yang benar yang mana, ya?
Mungkin maksud si pewawancara melontarkan jokes adalah untuk mencairkan suasana, tapi jika jokes itu menyentil sisi profesional kamu, atau bahkan cenderung tidak sopan dan menyinggung perasaan, maka kamu berhak untuk merasa tidak nyaman. Hal ini juga bisa menjadi alasan bagi kamu untuk mempertimbangan tawaran pekerjaan yang datang padamu.
Ladies, ketika kamu mencari suatu pekerjaan, kamu pasti tahu apa yang menjadi tujuan utamamu. Apa kamu hanya ingin mengejar gaji? Apa kamu ingin mengembangkan karier? Apa kamu ingin mencari kantor dengan suasana kerja yang kondusif, jauh dari drama dan politik kantor? Tentunya tujuan tersebut akan mempengaruhi kamu dalam mengambil keputusan untuk mengambil sebuah tawaran pekerjaan atau tidak. Good luck, Ladies! 🙂