Survei: Potret Kelas Menengah Indonesia dari Sudut Pandang Perempuan di Era Ekonomi “Survival” 

Ilustrasi Foto: Freepik.com

Belakangan ini istilah “Rohana” (Rombongan Hanya Nanya) dan “Rojali” (Rombongan Jarang Beli) makin populer di telinga kita. Fenomena ini muncul dari pengamatan sosial terhadap perilaku konsumen di pusat perbelanjaan atau mal. Sekilas terdengar humoris, tetap makna yang terkandung sebenarnya cukup dalam, mencerminkan situasi ekonomi dan dinamika sosial yang cukup kompleks.

Fenomena ini menunjukkan terjadinya penurunan daya beli masyarakat, khususnya kelas menengah ke bawah yang mengalami tekanan ekonomi akibat inflasi dan gelombang PHK massal, yang memaksa mereka untuk lebih berhati-hati dalam berbelanja dan mengeluarkan uang. 

Meskipun banyak mal masih ramai, tapi banyak pengunjung hanya datang sekadar cuci mata. Jalan-jalan di mal dianggap sebagai menjadi sarana “healing murah” dan pelarian dari tekanan hidup. Untuk berbelanja, banyak yang lebih memilih belanja online di e-commerce karena menawarkan harga yang lebih kompetitif dengan lebih banyak tawaran promo atau diskon. Inilah yang membuat mal sepi pembeli, meski ramai pengunjung.  

Sesungguhnya, Rohana dan Rojali hanyalah fenomena yang tampak di permukaan. Di dalamnya, ada situasi yang lebih kompleks dan jeritan hati kelas menengah yang berusaha untuk bertahan di tengah masa sulit. Beberapa situasi ini terekam dalam Survei Perempuan di Era Ekonomi “Survival” yang diadakan oleh Chicmanagers.com pada bulan Mei hingga pertengahan Juni 2025 lalu.

Survei Perempuan di Era Ekonomi “Survival”

Di tengah kondisi perekonomian yang tidak menentu, rumah tangga kelas menengah menjadi yang paling rentan terhadap guncangan ekonomi. Hal ini terefleksi dalam Survei Perempuan di Era Ekonomi “Survival”, di mana sebanyak 88,2% responden mengaku bahwa kehidupan mereka sedang dalam mode “bertahan hidup”. 

Survei ini diikuti oleh 111 responden perempuan berusia 25 tahun ke atas. Dari seluruh responden, mayoritas atau sebanyak 85,5% berusia di atas 35 tahun, sebanyak 71,2% berstatus menikah, dan 68,5% memiliki anak. Para responden wanita ini ada yang berprofesi sebagai karyawan (41,4%), ibu rumah tangga (31,5%), pekerja lepas dan konsultan (14,4%), dan pemilik usaha (8,1%). Sementara 4,5% lainnya sedang tidak bekerja. Sebanyak 86,5% berdomisili di wilayah Jabodetabek (Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi), sementara sisanya tersebar di kota-kota lain di Indonesia dan di luar negeri. 

Sebanyak 42,3% responden memiliki pengeluaran rumah tangga lebih dari Rp10 juta per bulan, 33,3% antara Rp5 juta–Rp10 juta per bulan, dan sebanyak 24,3% memiliki pengeluaran rumah tangga kurang dari Rp5 juta per bulan. Angka pengeluaran tersebut menempatkan para responden survei ini sebagai masyarakat kelas menengah, sesuai dengan klasifikasi kelas ekonomi menurut Bank Dunia. Klasifikasi tersebut menyebutkan bahwa kelompok kelas menengah mencakup masyarakat dengan pengeluaran berkisar Rp2.040.262 hingga Rp9.909.844 per kapita per bulan.

Meskipun seluruh respondennya perempuan, tapi survei ini tetap relevan dengan kondisi ekonomi saat ini, di mana banyak perempuan menjalankan peran penting dalam menjaga keseimbangan hidup keluarga mereka. Mereka memiliki kontribusi yang sangat sangat berarti dalam menopang ketahanan ekonomi keluarga, baik sebagai pengelola anggaran rumah tangga, pencari nafkah utama ataupun pencari nafkah tambahan, maupun sebagai pengambil keputusan finansial rumah tangga.

Gejolak Paruh Pertama 2025

Enam bulan terakhir, atau paruh pertama 2025 menjadi masa penuh gejolak bagi para responden survei ini. Yang paling mencolok, cukup banyak yang mulai merasakan kesulitan finansial dan kehilangan penghasilan, sehingga terpaksa menyesuaikan gaya hidup secara drastis, mulai dari cara belanja, pola konsumsi hiburan, hingga strategi bertahan sehari-hari. Selain itu, ada pula yang merasakan beban kerjanya di kantor meningkat.

Di antara para responden, sebanyak 18% menjadi korban pemutusan hubungan kerja (PHK) dan kehilangan sumber penghasilan utamanya dalam 6 hingga 12 bulan terakhir. Sebanyak 8,1% ikut terdampak karena pasangannya mengalami PHK. Bahkan ada pula sebanyak 2,7% yang keduanya, yakni responden dan pasangannya, mengalami PHK.

Bagi beberapa wanita, tantangan membesarkan anak menjadi beban ganda di tengah krisis ekonomi dan keterbatasan sumber daya, karena kebutuhan fisik, emosional, pendidikan, dan pengasuhan anak menuntut perhatian yang besar. Masalah rumah tangga dan relasi personal juga turut muncul dan dialami oleh sebanyak 4,5% responden. Meski tak banyak, tapi hal ini menunjukkan bahwa tekanan ekonomi dapat mempengaruhi emosional dan psikologis. 

Ketersediaan Dana Darurat

Di tengah ketidakpastian ekonomi, dana darurat menjadi penentu apakah sebuah keluarga bisa lebih tenang dalam menjalani masa penuh tantangan, atau menghadapi risiko yang cukup panjang dalam krisis. Dalam Survei Perempuan di Era Ekonomi “Survival”, terlihat adanya jurang yang cukup lebar di antara kelompok responden, di mana rata-rata setiap kelompok memiliki jumlah persentase yang berdekatan. 

Sebanyak 38,7% responden memiliki dana darurat yang cukup untuk 6 bulan atau lebih, 21,6% tidak memiliki dana darurat sama sekali, 21,6% memiliki dana darurat sangat terbatas atau kurang dari 3 bulan, dan 18,0% sisanya memiliki dana darurat cukup untuk 3–5 bulan.

Meskipun mayoritas responden memiliki simpanan dana darurat, tapi lebih dari setengahnya berada dalam posisi rentan tidak punya dana darurat sama sekali, atau hanya memiliki cadangan keuangan yang sangat terbatas. Hal ini menunjukkan bahwa sebagian besar kelas menengah masih hidup dalam bayang-bayang risiko ketidakstabilan ekonomi yang bisa berdampak pada stabilitas keluarga. 

Kekhawatiran terhadap Masa Depan

Kekhawatiran terhadap masa depan keuangan keluarga, setidaknya dalam 1–2 tahun ke depan, mewarnai kehidupan masyarakat kita saat ini. Dalam konteks ini, kekhawatiran bukan hanya soal ketakutan kehilangan sumber penghasilan atau ketidakcukupan ekonomi, tetapi juga tentang kesadaran bahwa masa depan membutuhkan persiapan finansial–bukan hanya kerja keras dan mental tahan banting.

Sebanyak 38,7% responden merasa “cukup khawatir”, mencerminkan kewaspadaan tanpa panik, sekaligus menunjukkan perasaan tidak pasti akan masa depan. Sementara 11,7% responden menyatakan  “sangat khawatir”, terutama mereka yang berumah tangga atau memiliki anak. 

Meski demikian, ada juga kelompok yang menyatakan “tidak terlalu khawatir” terhadap masa depan (45%) atau bahkan “tidak khawatir sama sekali” (4,5%). Kebanyakan dari kelompok ini memiliki dana darurat cukup untuk enam bulan atau lebih. Hal ini merefleksikan bahwa rasa aman dari segi finansial bukan hanya berkaitan dengan penghasilan, tapi juga kesiapan dalam menghadapi ketidakpastian.

Lalu, bagaimana suara hati dan perjuangan kelas menengah untuk bertahan, dan aspirasi mereka untuk membangun ketahanan ekonomi pribadi dan keluarga? Temukan jawabannya dalam artikel lanjutan dari seri survei ini. (RAA)

About Chic Managers

Chic Managers merupakan media digital berbasis komunitas yang menampilkan tips, informasi, serta berbagai pandangan seputar karier dan dunia kerja, yang diperuntukkan bagi perempuan. Chic Managers diciptakan sebagai wadah untuk berbagi informasi dan saling membantu para perempuan dalam menjalankan peran mereka, baik sebagai pribadi profesional maupun sebagai bagian dari keluarga.

View all posts by Chic Managers →

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *