Ketika Ekspektasi Sosial Membuat Ibu Kehilangan Diri, Bagaimana Menemukan Diri Kembali?

Ilustrasi Foto: Freepik.com

Dalam kehidupan seorang perempuan, ada fase ketika dunianya seakan mengerucut pada satu pusat, yaitu anak. Di fase tersebut, identitas yang telah ia bangun bertahun-tahun seolah berubah arah, berganti dengan peran baru yang intens, penuh dengan tuntutan dan tekanan sosial. Pada saat tersebut, banyak perempuan tak menyadari bahwa mereka ‘kehilangan diri’ bukan hanya karena kehadiran anak, tetapi juga karena ekspektasi sosial terhadap peran seorang ibu yang menenggelamkan ruang pribadinya.

Sejak dulu, masyarakat memandang potret ibu yang ideal sebagai perempuan lemah lembut, tak boleh lelah, selalu siap sedia untuk keluarga, tak pernah marah dan tak pernah salah. Sedihnya, standar tradisional yang teramat tinggi ini bukannya memudar di era modern, tapi justru bertambah. Ibu tak hanya diharapkan untuk menjadi pengasuh utama, orang yang menjaga rumah tetap rapi, dan mampu memastikan perkembangan anak optimal, tetapi juga diharapkan tetap bisa menjadi pejuang finansial bagi keluarga–bisa berkarir dan berprestasi, tampil menarik, tetap menjadi pasangan yang suportif bagi suami, sekaligus juga bisa menjaga kesehatan mental. Luar biasa!

Tanpa sadar, banyak perempuan memikul beban dari banyak versi dirinya sekaligus. Ia tak hanya dinilai oleh keluarga sendiri, tapi juga orang lain: tetangga, rekan kerja, bahkan orang tak dikenal di jagat media sosial. Banyak yang merasa berhak menilai cara seorang perempuan menjadi ibu.

Tekanan sosial ini bisa berlangsung panjang atau  bahkan terus-menerus, memaksa banyak perempuan merasa harus melakukan segala hal tanpa sempat memikirkan apa kebutuhan dan keinginan mereka. Dan, di sinilah proses kehilangan diri itu dimulai.

Peran Ibu yang Menutupi Identitas 

Perubahan peran perempuan setelah menjadi ibu sebenarnya sangat alami. Namun, tekanan sosial sering membuatnya menjadi ekstrem. Menjalani hobi yang dulu merupakan ruang bernapasnya,  mendadak tergantikan oleh rutinitas rumah. Waktu pribadi lenyap di antara kelelahan. Bagi banyak ibu, memikirkan keinginan dan mimpi pribadi menjadi hal yang tampaknya egois. Bahkan keperluan untuk pergi keluar rumah sebentar, bekerja lebih lama di kantor, mengambil waktu untuk istirahat sejenak harus dihitung dengan seksama serta didiskusikan dan “dilaporkan” kepada lingkungan sekitar.

Kondisi ini membuat banyak perempuan tanpa sadar mempersempit ruang diri mereka. Mungkin di antara para Ladies juga merasakannya. Menjalani hari demi hari, sambil bertanya dalam hati,“Ke mana diriku yang dulu? Apakah aku masih dia yang dulu, atau hanya menjalani ekspektasi orang lain?”

Perempuan tidak seharusnya kehilangan identitas karena menjadi ibu. Kebanyakan dari mereka kehilangan identitas karena perannya diatur, dinilai, dan dikendalikan oleh standar sosial yang tidak realistis bagi seorang ibu.

Mengembalikan Ruang untuk Diri Sendiri

Mengatasi ini bukan berarti melepas peran sebagai ibu, tapi justru membangun ulang identitas perempuan yang lebih luas: sebagai individu, sebagai perempuan, sebagai pekerja profesional, dan sebagai ibu sekaligus.

Berikut beberapa cara yang dapat membantu ibu profesional menemukan dirinya kembali di tengah ekspektasi sosial yang teramat tinggi:

1. Menentukan standar sendiri, tidak mengikuti standar orang lain 

Fokus saja pada apa yang penting bagi keluarga sendiri, bukan bagi keluarga orang lain. Tak perlu membandingkan diri dengan orang lain, dan terpengaruh dengan penilaian orang. Saat prioritas ditentukan oleh nilai pribadi, bukan tuntutan sosial, otomatis kita mengurangi tekanan pada diri sendiri.

2. Menerima bahwa tidak ada ibu yang sempurna

Perfeksionisme bisa menjadi sumber utama kelelahan emosional ibu. “Cukup baik” saja sering kali dianggap kurang, padahal anak tidak membutuhkan ibu yang sempurna. Yang mereka butuhkan adalah ibu yang hadir dengan versi terbaiknya bagi keluarga.

3. Menetapkan batasan dan belajar berkata “tidak”

Katakan tidak pada penilaian orang, tidak pada tugas yang tidak kamu sanggupi, dan tidak pada standar yang bukan pilihanmu. Selanjutnya, jadikan setiap “tidak” sebagai ruang yang bisa kamu isi dengan hal-hal yang lebih bermakna bagi dirimu dan keluarga.

4. Perbaiki narasi internal dan kembali ke hal-hal yang membuatmu hidup

Mungkin ini dialog penyesalan yang sering terngiang dalam batin seorang ibu, “Seharusnya aku bisa melakukan semuanya.” Ubahlah dialog tersebut untuk membangun kembali rasa percaya diri dan kendali atas hidupmu. “Ibu juga manusia, berhak untuk lelah dan punya pilihan.”

Luangkan waktu untuk menghibur diri sendiri, mulai hal kecil, seperti membaca buku, menikmati kopi dengan tenang, meluangkan waktu bersama teman-teman, dan menghidupkan kembali minat lama. Identitasmu sebagai perempuan juga dibangun dari kebiasaan-kebiasaan personal, bukan hanya dari peran yang dijalani.

5. Menciptakan “support system” yang sehat

Komunikasi yang terjalin baik dengan pasangan, keluarga, dan lingkungan kerja bisa membuka ruang kolaborasi bagi ibu profesional. Ibu tidak diciptakan untuk bekerja sendiri, tetapi juga butuh dukungan dan tim yang solid.

Ladies, mengembalikan identitas setelah menjadi ibu bukan berarti kembali menjadi diri sendiri sebelum memiliki anak, karena tidak mungkin dan tidak perlu dilakukan. Identitas sebagai ibu justru memperkaya dirimu sebagai perempuan, memperluas perspektif dan memberikan kekuatan. 

Yang perlu dipahami adalah, menjadi seorang ibu tidak seharusnya membuatmu menghilang dari lingkar pertemanan dan kegiatan sosial. Memutuskan untuk kembali menemukan dirinya, seorang ibu bukan hanya membebaskan diri dari standar masyarakat yang tidak adil, tapi juga menunjukkan jalan bagi perempuan lain dan generasi perempuan setelahnya untuk hidup sebagai ibu dengan lebih baik dan berani.

Selamat Hari Ibu, untuk semua perempuan hebat!

About Restituta Arjanti

Biasa dipanggil dengan nama tengahnya, Ajeng. Ia memulai kariernya sebagai Jurnalis. Dengan pengalaman lebih dari sepuluh tahun di Industri Media dan Teknologi, sekarang ia aktif sebagai penulis dan editor profesional serta konsultan di bidang Media, Konten, dan Public Relations.

View all posts by Restituta Arjanti →

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *