Survei: “Survive and Thrive”, Harapan Perempuan di Pusaran Ekonomi yang Menantang

Ilustrasi Foto: Freepik.com

Di tengah gelombang ekonomi yang makin tak menentu dengan adanya inflasi, gelombang PHK massal, hingga harga kebutuhan pokok yang terus merangkak, kelas menengah berada dalam posisi yang serba dilematis. Mereka bukan kelompok yang cukup miskin untuk menerima bantuan, tapi juga tak yang cukup kaya untuk tidak merasakan dampak ekonomi yang lesu. Hal yang harus mereka prioritaskan adalah bertahan hidup. 

Survei Perempuan di Era Ekonomi “Survival” yang diadakan oleh Chicmanagers.com pada bulan Mei hingga pertengahan Juni 2025 lalu merekam kompleksitas kehidupan kelas menengah di Indonesia.

Survei ini diikuti oleh 111 responden perempuan berusia 25 tahun ke atas. Dari seluruh responden, mayoritas atau sebanyak 85,5% berusia di atas 35 tahun, sebanyak 71,2% berstatus menikah, dan 68,5% memiliki anak. Para responden wanita ini ada yang berprofesi sebagai karyawan (41,4%), ibu rumah tangga (31,5%), pekerja lepas dan konsultan (14,4%), dan pemilik usaha (8,1%). Sementara 4,5% lainnya sedang tidak bekerja. Sebanyak 86,5% berdomisili di wilayah Jabodetabek (Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi), sementara sisanya tersebar di kota-kota lain di Indonesia dan di luar negeri. 

Sebanyak 42,3% responden memiliki pengeluaran rumah tangga lebih dari Rp10 juta per bulan, 33,3% antara Rp5 juta–Rp10 juta per bulan, dan sebanyak 24,3% memiliki pengeluaran rumah tangga kurang dari Rp5 juta per bulan. Angka pengeluaran tersebut menempatkan para responden survei ini sebagai masyarakat kelas menengah, sesuai dengan klasifikasi kelas ekonomi menurut Bank Dunia. Klasifikasi tersebut menyebutkan bahwa kelompok kelas menengah mencakup masyarakat dengan pengeluaran berkisar Rp2.040.262 hingga Rp9.909.844 per kapita per bulan.

Meskipun seluruh respondennya perempuan, tapi survei ini tetap relevan dengan kondisi ekonomi saat ini, di mana banyak perempuan menjalankan peran penting dalam menjaga keseimbangan hidup keluarga mereka. Mereka memiliki kontribusi yang sangat sangat berarti dalam menopang ketahanan ekonomi keluarga, baik sebagai pengelola anggaran rumah tangga, pencari nafkah utama ataupun pencari nafkah tambahan, maupun sebagai pengambil keputusan finansial rumah tangga.

Prioritas dan Harapan Kelas Menengah

Di tengah tekanan ekonomi yang menantang dan upaya untuk bertahan hidup, kelas menengah tampak berusaha menyusun ulang prioritas hidup mereka. Tak hanya itu, mereka juga berupaya untuk menjaga semangat dan harapan akan kehidupan yang lebih baik.

Hasil survei Chicmanagers.com menunjukkan bahwa kestabilan finansial menempati posisi teratas prioritas hidup utama mayoritas responden (67,6%) saat ini. Terkait hal ini, banyak responden menyampaikan harapan mereka khususnya dalam 1–2 tahun ke depan. Mayoritas berharap bisa memperkuat aspek ekonomi pribadi dan keluarga dengan bebas dari utang, memiliki tabungan, mendapat penghasilan tambahan, hingga memulai usaha dan menata kembali jalur karir mereka.

Selain itu, para responden juga memprioritaskan kesehatan pribadi (62,2%) dan kesejahteraan keluarga (61,3%). Beberapa perubahan yang mereka harapkan dalam hal ini, termasuk menjaga kebugaran, gaya hidup sehat, dan mempersiapkan hari tua dengan tubuh yang tetap prima. Temuan ini cukup menarik karena merefleksikan tanggung jawab dan sisi emosional para responden wanita kelas menengah, terutama dalam posisi mereka sebagai tumpuan keluarga.

Yang tak kalah penting, pertumbuhan diri dan spiritualitas menjadi salah satu prioritas hampir setengah responden (42,3%), menunjukkan bahwa di tengah tekanan ekonomi, banyak dari mereka tetap berusaha mencari kehidupan yang bermakna, ketenangan batin, dan ruang untuk bertumbuh sebagai individu. 

Selanjutnya, 28,8% responden juga memasukkan keseimbangan kerja–hidup ke dalam salah satu prioritas mereka, diikuti dengan relasi dan pernikahan (15,3%) serta upaya untuk berganti karier atau memulai usaha (9%). Dorongan untuk mencapai keseimbangan hidup ini, termasuk memperkuat peran sebagai orang tua serta mencapai kestabilan dalam hubungan dan pernikahan.

Temuan-temuan ini menunjukkan bahwa meskipun fokus untuk bertahan hidup, para responden tetap memelihara aspirasi jangka panjang mereka. Bukan hanya merasa perlu untuk “surviveI” (bertahan hidup), banyak dari mereka juga sadar bahwa mereka harus bisa “thrive” (bertumbuh dengan baik). Karenanya, mereka merasa perlu melakukan perubahan bukan hanya dari sisi keuangan, tetapi juga kesehatan, spiritualitas, dan keseimbangan hidup. 

Peran Komunitas

Di tengah situasi ekonomi “survival” ini, peran komunitas dinilai cukup dapat membantu para responden untuk bertahan dan berkembang. Hal ini diakui oleh lebih dari separuh responden yang aktif dalam komunitas. Dalam survei, 51,4% responden mengaku aktif terlibat dalam kegiatan komunitas atau kelompok sosial, sementara 48,6% lainnya tidak tergabung dalam komunitas apapun. 

Terkait peran komunitas, 33.3% responden menilai bahwa komunitas cukup membantu mereka dalam menghadapi tantangan ekonomi, sedangkan 17,1% menilai komunitas sangat membantu mereka, misalnya dengan memberi informasi, motivasi, hingga peluang kolaborasi. Sisanya, sebanyak 23,8% merasa peran komunitas biasa saja, dan 20% menjawab tidak tahu karena belum pernah terlibat langsung. Dari sini dapat disimpulkan bahwa bagi sebagian besar yang aktif dalam komunitas, ada pengalaman positif yang mereka rasakan.

Saat ditanya tentang bentuk dukungan komunitas yang paling dibutuhkan, jawaban para responden cukup beragam, namun menunjukkan pentingnya komunitas dalam memberikan dukungan mental dan emosional, serta sebagai ruang untuk berbagi. Bentuk dukungan yang diharapkan di antaranya, pelatihan kewirausahaan dan keterampilan, akses terhadap informasi peluang kerja, hingga jejaring profesional. Banyak pula yang menyebut perlunya komunitas yang bisa memfasilitasi pengembangan diri, terutama bagi perempuan yang menjalankan banyak peran sekaligus dalam keluarga dan masyarakat.

Dari survei ini, dapat kita lihat bahwa komunitas bukan sekadar menjadi tempat berkumpul, tetapi bisa menjadi sarana untuk berbagi, belajar, saling menguatkan dan memberdayakan, terutama bagi mereka yang sedang berjuang menghadapi situasi ekonomi yang tidak pasti. Di artikel selanjutnya, kita akan menyelami bagaimana perempuan memanfaatkan teknologi di tengah tantangan ekonomi, serta bagaimana media sosial berperan sebagai alat pemberdayaan atau berpotensi menjadi sumber tekanan emosional. (RAA)

About Chic Managers

Chic Managers merupakan media digital berbasis komunitas yang menampilkan tips, informasi, serta berbagai pandangan seputar karier dan dunia kerja, yang diperuntukkan bagi perempuan. Chic Managers diciptakan sebagai wadah untuk berbagi informasi dan saling membantu para perempuan dalam menjalankan peran mereka, baik sebagai pribadi profesional maupun sebagai bagian dari keluarga.

View all posts by Chic Managers →

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *