
Di tahun 2017, saya mengalami sesuatu yang tak pernah saya bayangkan akan terjadi. Saya di-PHK. Ada yang aneh kala itu. Perasaan awal saya bukan kesedihan, tapi justru sedikit lega.
Beberapa bulan sebelumnya, situasi di tempat kerja tak menentu. Ada pemotongan anggaran, dari biaya marketing sampai fasilitas karyawan. Selama dua tahun saya bekerja pun, tak ada kenaikan gaji. Ada perasaan, sepertinya sesuatu akan terjadi. Karena itu, saya mulai membangun Chicmanagers.com sebagai rencana cadangan, jika tiba-tiba saya kehilangan pekerjaan.
Ketika PHK akhirnya diumumkan, saya merasa… tenang dan–cukup mengejutkan–sedikit bersyukur karena mendapatkan kejelasan. Beberapa minggu pertama terasa seperti waktu yang damai untuk beristirahat dan menyegarkan pikiran. Namun dua bulan kemudian, saya mulai merasa cemas. Banyak lamaran kerja tak berbalas. Beberapa undangan wawancara saya terima, tetapi beberapa mengecewakan. Ada yang membuat saya berkecil hati, bahkan hingga membuat saya menarik diri dari pertemanan.
Di satu wawancara, ada seorang HRD yang berkata setengah bercanda, bahwa gaji saya sebelumnya terlalu tinggi.
“Pantas saja perusahaan kamu gak bertahan lama,” katanya, mengklaim perusahaannya lebih berkelanjutan. Mungkin dia tidak sepenuhnya memahami lingkup tanggung jawab saya di posisi sebelumnya, atau dia mencoba membenarkan gaji rendah di perusahaan mereka.
Situasi saat itu bikin frustasi. Rutinitas memeriksa email, memperbarui CV, dan “blusukan” ke situs-situs lowongan kerja sangat menguras emosi. Proses ini tentunya berbeda untuk setiap orang. Beberapa orang beruntung bisa mendapatkan pekerjaan baru beberapa minggu setelah PHK, tapi bagi banyak orang, penantiannya lebih lama. Belajar bersabar jadi tantangan yang cukup berat.
Badai di tahun 2025
Saat ini, di tengah krisis ekonomi, kita menyaksikan gelombang PHK di berbagai industri di Indonesia, mulai dari teknologi dan e-commerce hingga media, dari perusahaan rintisan hingga korporasi. Banyak profesional, termasuk perempuan, berada dalam “mode bertahan hidup“.
Hal ini terungkap dalam survei Chicmanagers.com yang bertajuk “Perempuan di Era Ekonomi Survival”. Survei yang diadakan pada akhir Mei hingga pertengahan Juni 2025 ini bertujuan mencari tahu tantangan-tantangan fisik dan mental yang dihadapi perempuan dalam kondisi ekonomi saat ini.
Sebanyak 111 perempuan berusia 25 tahun ke atas berpartisipasi. Mayoritas (85,5%) berusia di atas 35 tahun, 71,2% telah menikah, dan 68,5% memiliki anak. Sebagian besar responden adalah karyawan (41,4%), diikuti oleh ibu rumah tangga (31,5%), pekerja lepas dan konsultan (14,4%), serta pemilik bisnis (8,1%). Sebagian besar tinggal di Jabodetabek (86,5%), sementara sisanya tersebar di kota-kota lain dan luar negeri.
Survei tersebut mengungkapkan beberapa insight menarik:
- 88,2% responden mengaku berada dalam “mode bertahan hidup”.
- 18% kehilangan sumber pendapatan utama mereka karena PHK dalam 6-12 bulan terakhir, sementara 8,1% terdampak oleh PHK pasangan mereka. Beberapa (2,7%) mengalami keduanya.
- 38,7% memiliki dana darurat yang cukup untuk enam bulan atau lebih, sementara sisanya tidak punya dana darurat sama sekali, atau kurang dari tiga bulan.
- Menariknya, 45% mengatakan mereka tidak terlalu khawatir tentang masa depan, dan 4,5% mengatakan sama sekali tidak khawatir. Sebagian besar dari mereka punya dana darurat yang cukup setidaknya untuk enam bulan.
- 59,5% merasa perlambatan ekonomi secara langsung memengaruhi kehidupan mereka, sementara 26,1% mengaku sangat terdampaknya hingga menambah beban mental. Secara psikologis, 45,9% mengaku sering cemas dan gelisah, 30,6% merasakan kelelahan tanpa sebab, 28,8% merasa hampa atau kehilangan motivasi, dan 18,9% mengalami insomnia.
Ketika ditanya tentang prioritas hidup mereka saat ini, sebagian besar menempatkan stabilitas keuangan di urutan teratas (67,6%), diikuti oleh kesehatan pribadi (62,2%) dan kesejahteraan keluarga (61,3%). Sementara itu, 42,3% ingin mengembangkan personal growth dan spiritualitas selama masa sulit ini.
Yang saya pelajari dari kehilangan pekerjaan
Melihat ke belakang, PHK yang saya alami dulu adalah salah satu momen tersulit dalam hidup dan karier saya, sekaligus pengalaman belajar yang berharga. Pelajaran luar biasa yang saya dapatkan adalah: di-PHK tidak menentukan nilai diri kita, dan bahkan mungkin bisa mengubah jalan hidup.
Pengalaman itu membuat saya mempertanyakan apa yang sebenarnya saya inginkan dalam kehidupan profesional, di luar jabatan dan gaji bulanan. Saya juga belajar bahwa loyalitas pada perusahaan tak seharusnya mengorbankan growth dan well-being diri sendiri.
Saya belajar membangun resiliensi, bukan hanya membangun portofolio, dan belajar bahwa meski kita meniti karier di satu tempat, penting bagi kita untuk memiliki proyek pribadi. Sesuatu yang mungkin tidak secara signifikan mendatangkan cuan, tetapi bisa membuat saya happy dan bangga.
Saya juga makin sadar akan pentingnya membina pertemanan yang konstruktif. Jangan hanya fokus pada pekerjaan, karena kehidupan di luar kantor pun sama pentingnya. Dan yang tak kalah pentingnya, saya diingatkan lagi untuk memperlakukan orang lain dengan empati.
Ya, saya tahu kondisi di tahun 2017 dan sekarang memang sangat berbeda. Perekonomian dan tuntutan pekerjaan sudah berubah, tapi perjuangan kita sebagai pekerja dan profesional masih sama. Semangat juang yang kuat tetap dibutuhkan untuk melewati ‘medan perang’ kita.
Untuk teman-teman yang terdampak PHK dan masih mencari pekerjaan baru, saya tahu situasi yang kalian hadapi ini sulit, tapi tetap semangat ya! Kehilangan pekerjaan mungkin bisa mengacaukan rencana kamu, tetapi tidak akan menghilangkan potensimu. Bisa jadi, PHK adalah awal dari sesuatu yang lebih baik dan membantu kamu bertumbuh. Percayalah, waktu Tuhan tak pernah salah atau terlambat.
NB: Artikel ini juga bisa dibaca di LinkedIn saya dalam versi Bahasa Inggris.
