
Di satu pagi, saya melihat Instagram story seorang teman HRD. Dia membagikan tangkapan layar subjek email seorang pelamar kerja: “Posisi apa pun yang tersedia, tolong beri saya kesempatan”.
Dalam story-nya, teman saya mengungkapkan kekhawatirannya dan imbauan supaya pencari kerja melamar secara lebih profesional, dan menyasar posisi yang sesuai dengan latar belakang mereka. Saya paham maksudnya, tapi saya juga melihat ada keputusasaan dalam email tersebut. Siapa tahu sudah ada berapa banyak lamaran serius dan relevan yang telah dikirim orang itu? Berapa banyak email penolakan yang ia terima, atau mungkin tak ada satupun yang berbalas?
Dari subjeknya, saya berasumsi pelamar tersebut berada di level junior, meskipun mungkin saja dia berpengalaman dan menulisnya karena putus asa. Kenyataannya, bursa kerja Indonesia sedang tidak baik-baik saja, dan ini tak hanya memengaruhi tenaga kerja muda tetapi juga para profesional dan pekerja paruh baya yang berpengalaman.
Perbincangan dengan beberapa teman
Minggu lalu, saya berdiskusi dengan beberapa teman. Beberapa dari mereka mengundurkan diri karena pilihan sendiri, lainnya ada yang di-PHK. Mereka sekarang mencari pekerjaan di usia 40-an, dan menghadapi perjuangan yang sama dalam pencarian. Meski kami banyak tertawa saat itu, kenyataannya tidak lucu.
“Saya hanya berharap mereka memberitahu alasannya,” keluh salah satu teman yang sedang aktif mencari pekerjaan. Dia bercerita tentang beberapa penolakan yang diterimanya. “Kalau memang gak cocok, ya gak apa-apa. Tapi, setidaknya beritahu apa yang perlu saya perbaiki.”
“Beberapa kali saya melamar suatu posisi, dan dalam seminggu pekerjaan yang sama di-posting ulang,” kata teman yang lain. “Itu membuat saya bertanya-tanya, apakah lowongan itu benar-benar ada.”
“Mungkin kamu harus mulai mencari pekerjaan di luar negeri? Mereka punya proses yang lebih adil dan transparan,” kata teman yang lain.
Dia berbagi pengalamannya dengan proses rekrutmen di perusahaan asing, belum lama ini. Meski pada akhirnya dia tidak mendapatkan pekerjaan itu, tetapi perekrut memberikan insight yang detail dan umpan balik yang membangun. Mereka mengakui pengalaman berharga dan pemahaman kawan saya yang mendalam tentang situasi di lapangan, tetapi sayangnya, kemampuan bahasa Inggrisnya perlu ditingkatkan, karena peran yang ia lamar menuntut banyak interaksi dengan klien internasional. Email penolakan yang ia terima detail dan personal—bukan sekadar template.
“Saya sangat appreciate, meskipun hasilnya gak seperti yang diharapkan,” ungkapnya.
Perjuangan para pencari kerja di Indonesia
Dari diskusi tersebut, kami menyimpulkan bahwa masalahnya mungkin sistemik. Pemikiran ini berdasarkan pengalaman dan pengamatan kami sebagai kandidat dan pencari kerja.
1. Budaya ghosting. Ini sudah jadi keluhan umum di kalangan pencari kerja. Perekrut jarang memberi tahu kandidat ketika mereka tidak terpilih. Memang, tim HRD memang sibuk, tapi jangan lupa bahwa kandidat juga meluangkan waktunya berjam-jam untuk menyusun CV, mengisi formulir, dan menulis surat lamaran. Apa salahnya memberikan kabar singkat atau feedback sederhana untuk menunjukkan apresiasi atas waktu dan upaya mereka?
2. Oke, mungkin beberapa pelamar dan kandidat cukup ‘beruntung’ menerima email penolakan. Tapi, kebanyakan perekrut tidak menjelaskan alasan mengapa proses rekrutmen tidak dilanjutkan. Mereka lupa bahwa feedback sangat penting bagi kandidat untuk mengevaluasi dan meningkatkan diri.
Alasan seperti tidak memenuhi kualifikasi, kualifikasi terlalu tinggi, terlalu senior, gaji sebelumnya jauh lebih tinggi ketimbang anggaran perusahaan, atau perlu meningkatkan kemampuan bahasa Inggris, misalnya, akan membantu pelamar merefleksi dan mempersiapkan diri lebih baik untuk kesempatan berikutnya. Memberikan penjelasan tidak hanya menghargai usaha mereka, tapi juga membantu pencari kerja belajar dan berkembang dari pengalaman itu.
3. Banyak perekrut menghindari (atau merasa tidak percaya diri dengan) negosiasi gaji, meskipun kandidat terbuka untuk berdiskusi atau fleksibel dengan ekspektasi mereka. Hal ini umumnya terjadi pada kandidat senior atau kandidat yang gaji sebelumnya melebihi anggaran perusahaan.
4. Postingan lowongan kerja “palsu” ada di mana-mana, membanjiri platform lowongan kerja, termasuk LinkedIn. Tujuannya entah untuk mengumpulkan data, memenuhi KPI, atau untuk “branding“, kami tidak yakin. Namun yang pasti, dari perspektif pencari kerja, hal ini membingungkan. Pencari kerja menghabiskan waktu mempersiapkan CV dan lamaran, hanya untuk merasa bingung apakah lowongan itu benar-benar ada.
Pertanyaan untuk para profesional HR
Di tengah gelombang PHK, ketidakpastian ekonomi, dan meningkatnya pengangguran, akan lebih baik jika kita tidak mengabaikan pencari kerja, baik profesional berpengalaman atau bahkan pencari kerja yang putus asa sekalipun. Profesional senior yang, biasanya telah berkarir selama 10–20 tahun memiliki pengalaman memimpin, pemikiran matang, serta perspektif yang tidak dimiliki para pekerja muda. Sementara, para fresh graduate dan pekerja junior memiliki energi, kemampuan beradaptasi, dan rasa ingin tahu yang tinggi.
Berikut beberapa pertanyaan untuk profesional HR:
- Bagaimana Anda memastikan keadilan dan transparansi selama proses rekrutmen di perusahaan?
- Apakah Anda memberitahu pelamar atau kandidat yang ditolak? Jika tidak, boleh tahu alasannya?
- Apakah Anda pernah memposting lowongan kerja sekadar untuk ‘uji coba’? Jika ya, apa alasannya?
- Bagaimana Anda mengevaluasi pengalaman dan keterampilan pelamar untuk pertama kalinya berdasarkan CV mereka, selain usia, jabatan, latar belakang pendidikan dan pekerjaan, atau pengalaman dan senioritas mereka?
Saya harap para profesional HR bisa berbagi perspektif untuk meyakinkan para pencari kerja bahwa masih banyak perekrut yang kredibel dan berniat baik di luar sana.
Semoga Tuhan memberkati segala usaha dan kerja keras kita.
NB: Artikel ini juga bisa dibaca di LinkedIn dalam versi Bahasa Inggris.
