
Ada etika dalam berkirim email. Apalagi jika email tersebut berhubungan dengan pekerjaan, profesional, bukan urusan pribadi. Menurut saya, kita bisa menilai kepribadian orang yang berkorespondensi dengan kita melalui tulisan-tulisannya di email. Nah, kalau saya bilang “tulisan-tulisan”, artinya saya melakukan penilaian setelah berkali-kali berkirim email dengan orang tersebut.
Ini pengalaman saya. Pernah suatu kali, saya ditugaskan untuk menjadi PIC sebuah proyek perusahaan. Yang membuat saya kurang suka dengan tugas tersebut adalah, saya harus berurusan dengan orang yang (maaf) agak lamban kerjanya.
Kita sebut saja namanya Jeki. Saya kirimi dia email. Saya tunggu sehari, dua hari, tiga hari, sampai hampir satu minggu, dia tak kunjung membalas email tersebut. Fyi, tak ada laporan email bouncing yang masuk ke inbox saya. Email itu juga saya CC ke rekan satu tim saya, dan rekan saya menerima email tersebut.
Saya sudah mencoba menelpon si Jeki, tidak diangkat. Saya kirimi dia SMS, tak dibalas. Lah, maunya apa sih orang ini? Saya tak mencoba menghubungi dia via Whatsapp karena sewaktu hal ini terjadi—beberapa tahun lalu—Whatsapp belum populer seperti sekarang.
Akhirnya, saya hubungi bos si Jeki via email, menanyakan perkembangan tugas anak buahnya, sekaligus menanyakan kenapa Jeki sulit sekali dihubungi.
Kamu tahu apa yang terjadi? Besok paginya, Jeki menelpon saya, mengaku tidak menerima email saya, dan minta saya untuk mengirim ulang email tersebut!
Yang membuat saya gemas, Jeki ini selalu memburu saya untuk segera membalas email-nya. Sore ini dia mengirim email, besok paginya dia sudah menagih jawaban. Padahal, email saya bisa lama sekali dia balas. SMS yang saya kirim ke ponselnya juga sering pending. Ketika ditelpon, kalau tidak masuk mailbox, ya tulalit. Saya jadi curiga orang ini punya kreditan yang belum lunas.
Satu lagi ciri si Jeki dalam berkorespondensi via email. Dia kerap menggunakan bahasa “kasta”. Entah sadar atau tidak, dia sering meninggikan diri sendiri (dan merendahkan orang lain). Saya mencoba berpikir positif. Mungkin itu karena dia memang tak terbiasa menulis.
Begini contoh bahasa “kasta” yang ia gunakan. Dia menulis “saya” dengan “Saya”, “panitia” dengan “Panitia”, kami dengan “Kami”, untuk mewakili dia dan timnya. Setiap kata yang mewakili dia dan timnya, ditulis dengan awalan uruf kapital! Tapi ketika menulis nama atau tim saya, dia menggunakan huruf kecil. Contohnya, “mbak restituta”. Duh, nggemesin banget kan! 😀
Dari pengalaman berkorespondensi via email dan telpon dengan Jeki, saya jadi menilai bahwa ia orang yang self-centric dan takut sama bos. Yaaah, bisa jadi saya salah. Mungkin saja saat itu si Jeki sedang mumet karena load kerjanya sedang tinggi—yang membuat dia jadi tidak fokus. Tapi, tidak semua partner atau client profesional punya toleransi yang besar seperti saya, loh!
Ladies, ketika berkirim email untuk tujuan profesional, baiknya kita hindari bahasa kasta seperti Jeki ya. Kalau teman-teman punya pengalaman atau tips yang berhubungan dengan korespondensi via email, monggo loh berbagi di kolom komentar. 🙂