
Suatu hari, saya membaca post seorang teman di linimasa media sosialnya. “Stop thinking & talking about the money. Seek out opportunities & just do it.”
Saya jelaskan dulu sedikit tentang teman saya itu. Dia termasuk first jobber atau “anak baru” di dunia kerja. Baru mencicip dunia kerja gak lebih dari dua tahun. Yes, menurut saya dua tahun itu waktu yang masih singkat untuk seseorang di dunia kerja. Perjalanannya masih panjang untuk bisa disebut sebagai seorang profesional atau spesialis di bidangnya.
Teman saya bisa dibilang termasuk beruntung. Dia bekerja di perusahaan asing yang punya reputasi baik. Saya katakan dia beruntung karena ia memulai kariernya sebagai intern alias anak magang, hingga akhirnya mendapatkan kesempatan untuk diangkat sebagai karyawan di perusahaan itu.
Beberapa kali saya melihat posting “hedon”-nya di media sosial—foto-foto ia saat kongkow di kafe bersama teman-temannya, beberapa foto sepatu bermerek koleksi pribadinya, dan posting lain yang seolah ingin menunjukkan standar sukses anak muda jaman sekarang.
Dari posting tersebut, ada beberapa hal yang saya tangkap:
- Di kalangan ia dan teman-teman seangkatannya, uang mungkin kerap menjadi perbincangan atau hal yang mereka pikirkan. Maklum ya, kongkow di kafe atau tempat-tempat yang lagi ngehits di kalangan anak gaul masa kini pasti butuh modal yang tidak sedikit.
- Media sosial memberikan tekanan sosial yang berat bagi orang-orang muda masa kini: kaum Millenials, termasuk para fresh graduates dan para first jobbers. Standar kesuksesan buat kebanyakan dari mereka adalah kebahagiaan yang bisa diabadikan di media sosial. Meski gak semua anak muda masa kini seperti itu, tapi saya yakin banyak yang seperti itu.
Itu tadi sisi yang kurang positif. Tapi saya yakin ada sisi positif atau hal lain yang jadi alasan mengapa generasi masa kini banyak yang “money oriented”:
- Mereka berpandangan ke depan. Berbeda dengan generasi sebelumnya yang “terlalu lugu” dan merasa bahwa memikirkan uang di masa-masa awal mereka bekerja adalah hal yang kurang pantas, mereka justru sedari awal sadar bahwa dunia tak seramah yang dikira banyak orang. Sejak awal mereka sadar bahwa hidup membutuhkan dukungan finansial. Sejak di bangku kuliah mereka sudah diajarkan untuk mengejar mimpi, berinvestasi sejak dini—semua demi menjamin masa depan mereka.
Tapi, semua ada waktunya. Pesan saya untuk teman saya dan para first jobbers lainnya—semoga tidak dibaca sebagai nasihat seorang kakak cerewet: