Di Balik Kebiasaan Job-hopping Kaum Milenial

karyawan milenial
Ilustrasi Foto: Pixabay

Sebutan “kutu loncat” tentu tak asing lagi di telinga kamu. Suka atau tidak, image tersebut sudah menjadi sebuah karakter yang melekat erat dalam diri kaum milenial. Perusahaan sendiri perlahan berusaha menyikapi fenomena ini secara lebih bijak, dengan tidak menjadikannya satu-satunya tolok ukur loyalitas karyawan.

Ada kalanya kebiasaan job-hopping dimaklumi sebagai tuntutan berkarier di era teknologi. Terbatasnya tenaga IT yang kompeten, misalnya, membuat recruiter terpaksa “membajak” para engineer, programmer, maupun developer berbagai perusahaan. Tak heran kalau dalam waktu dua tahun banyak dari mereka sudah dua hingga tiga kali berpindah kerja.

Di sisi lain, tidak sedikit perusahaan yang masih meragukan track record para milenial. Kebiasaan job-hopping yang mereka lakukan dipercaya memiliki dua kemungkinan; antara ekspektasi mereka terlalu muluk—seperti dalam hal gaji dan benefit—atau daya juang mereka terlalu rendah, sehingga tidak betah berlama-lama di satu perusahaan.

Kalau kamu salah satu milenial yang doyan berpindah-pindah kerja, kamu mungkin punya segudang alasan di baliknya. Namun dalam perspektif perusahaan, mereka juga punya hak untuk bersikap selektif terhadap calon karyawannya. Sayangnya, tak mudah bagi kita untuk menentukan siapa yang paling benar.

Pindah kerja demi karier atau ego?

Sebagai angkatan kerja yang tumbuh di tengah kemajuan teknologi informasi, kaum milenial umumnya lebih ekspresif dan inovatif. Jam kerja yang ketat, gap yang jauh antara atasan dan bawahan, serta birokrasi yang berbelit dianggap mempersulit perkembangan diri mereka. Itulah sebabnya mereka berpindah-pindah kerja dalam waktu yang relatif singkat.

Asalkan keputusan ini didorong oleh motivasi berkarier yang positif, sebenarnya sah-sah saja kalau para milenial melakukan job-hoppingYang jadi persoalan adalah, ketika kekurangan perusahaan yang memotivasi kamu untuk pindah kerja hanya merupakan justifikasi atas egomu. Misalnya, karena rasa tidak suka kamu pada atasan.

Nah, kamu harus bisa membedakan keduanya, Ladies!

Fenomena yang tak bisa dihindari

Perusahaan yang didominasi oleh karyawan senior kemungkinan besar lebih susah memahami kebiasaan job-hopping kaum milenial. Bagi mereka, kebiasaan ini mencerminkan etos kerja yang buruk. Belum lagi tingkat turnover yang tinggi membuat mereka terpaksa menanggung kerugian materi dan waktu.

Perusahaan mungkin tidak setuju dengan kultur dan pola pikir para milenial. Namun, fenomena dominasi generasi ini di pasar tenaga kerja tak akan bisa dihindari. Apabila ditentang, perusahaan bisa kehilangan talenta-talenta terbaiknya, sedangkan kelangsungan hidup perusahaan ada di tangan mereka.

Ladies, berkarier di era modern mungkin membuat kamu merasa dimanjakan. Jika suatu perusahaan gagal memenuhi ekspektasimu, tidak sulit untuk mencari perusahaan lain dengan manajemen yang fleksibel, ruang berkreasi yang terbuka lebar, serta fasilitas yang memadai. Kalau dipikir-pikir, apa lagi yang kurang?

Nah, satu hal yang perlu kamu ingat adalah, do not take anything for granted. Kalau perusahaan berani memfasilitasi berbagai hal untuk kemajuan karier kamu, maka tantanglah dirimu untuk membalasnya dengan kontribusi yang sebanding, bahkan melampaui ekspektasi mereka. Yakinkan mereka bahwa mempekerjakan kamu adalah keputusan yang terbaik!

About Widya Sulistiani

Widi memiliki rasa ingin tahu dan antusiasme yang besar terhadap dunia startup digital. Selain aktif berkontribusi di Chicmanagers.com, Widi juga berkarya sebagai Content Strategist di sebuah startup di Indonesia. Hal ini sesuai dengan passion-nya di bidang Content Marketing, Creative Writing, dan Social Media.

View all posts by Widya Sulistiani →

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *