5 Hal yang Membuat Karyawan Berkinerja Tinggi Memutuskan Resign

Hal yang Membuat Karyawan Berkinerja Tinggi Memutuskan Resign
Ilustrasi Foto: Pixabay

Ladies, ada beberapa tipe karyawan yang bisa kita jumpai di lingkungan kerja. Di antaranya adalah si high performer dan low performer. High performer atau karyawan berkinerja tinggi sangat fokus dengan pekerjaannya dan selalu ingin meraih hasil yang terbaik. Sementara low performer adalah sebaliknya—cenderung lamban dalam bekerja, kurang inisiatif, serta mudah puas dengan hasil kerja mereka.

Berbeda dengan low performer, karyawan berkinerja tinggi memiliki harapan yang tinggi terhadap kariernya. Mereka berusaha memberi banyak bagi perusahaan, dan mengharapkan hal serupa dari perusahaan—bukan hanya dalam bentuk kompensasi, tapi juga penghargaan atas pencapaian yang sudah mereka berikan kepada perusahaan.

Para high performer menuntut kepercayaan dan kebebasan dalam bekerja dan berkreasi. Mereka sadar bahwa mereka punya tanggung jawab dan mau bekerja lebih keras ketimbang orang lain.

Ketika menduduki posisi pemimpin, high performer juga akan sangat berhati-hati dalam memilih anggota timnya. Mereka tak hanya menilai orang dari keahlian dan gelarnya, tapi lebih berdasarkan sikap dan produktivitasnya. Mereka ingin bekerja dengan sesama high performer agar timnya dapat melaju kencang.

Para high performer bukanlah orang-orang yang mudah putus asa. Ketika mereka memutuskan untuk resign, umumnya mereka sudah mempertimbangkannya dengan matang. Berikut beberapa alasan yang bisa membuat mereka memutuskan untuk resign:

1. Menemukan kenyataan tak sesuai dengan harapan

Setahun lalu, seorang marketing specialist di industri digital—kita sebut saja Lina—mendapat tawaran kerja dari sebuah korporasi ternama yang sulit untuk ditolak. Direktur perusahaan tersebut menawarkan posisi marketing manager untuk suatu produk yang sangat ia sukai. Tentu saja Lina menerima tawaran itu.

Awalnya ia menyambut semua tugas dan proyek yang dipercayakan kepadanya dengan antusias. Namun waktu berselang, ia sadar bahwa terlalu banyak waktu yang ia habiskan untuk menjalani meeting serta proses birokrasi yang panjang dan melelahkan. Belum lagi, ia harus cerdik menghadapi politik kantor di lingkungan kerjanya.

Sebagai high perfomer, Lina merasa tak puas. Dalam waktu satu tahun, belum banyak pencapaian yang ia raih—tak sesuai dengan ia bayangkan dan targetkan. Ia lelah secara mental.

Kenyataan yang dihadapi oleh Lina berbeda dengan harapannya. Ia ingin membesarkan produk yang ia asuh serta membuat berbagai terobosan. Hal itu pula yang sebenarnya diharapkan oleh perusahaan darinya. Namun, berbagai kendala di lingkungan internal membuatnya tak bisa bergerak cepat, termasuk dalam mengambil keputusan. Ketika ia merasa tak dapat mengubah keadaan, maka tak ada lagi alasannya untuk bertahan.

2. Tidak dikelilingi high performer seperti dirinya

Seorang high performer senang bekerja dengan orang yang sama-sama berkinerja tinggi dan memiliki target. Bekerja dengan orang-orang dari divisi yang berbeda tidak pernah menjadi masalah baginya, selama mereka bisa menepati deadline, serta bisa bekerja sama dan berkomunikasi dengan baik.

Yang jadi masalah adalah ketika karyawan seperti Lina harus bekerja dengan rekan yang tidak kooperatif atau dengan para low performer. Rekan yang tidak kooperatif misalnya, yang sulit dihubungi dan tidak responsif dalam berkomunikasi. Sementara low performer yang mudah merasa puas umumnya bekerja secukupnya, tanpa target dan tanpa sense of ownership terhadap produk atau pekerjaan yang ia tangani.

Sebagai high performer yang menyukai tantangan, Lina ingin bekerja dengan rekan-rekan yang bisa mengikuti atau menyamai langkahnya. Ketika yang terjadi adalah sebaliknya, maka ia merasa frustasi. High performer memiliki batas kesabaran dan tingkat toleransi tertentu untuk menghadapi orang-orang yang tidak kooperatif.

3. Merasa tak dipercaya dan kurang dihargai

Bukan hanya karyawan berkinerja tinggi yang akan merasa gerah jika merasa tak dipercaya dan tak dihargai, Ladies. Karyawan yang biasa-biasa saja pun akan merasa tak nyaman. Bayangkan jika kita bekerja di lingkungan yang membatasi gerak dan kreativitas, di mana atasan bersikap micromanage.

Seorang high performer biasanya memiliki karakter yang dinamis dan tak suka dikekang. Ia bisa menunjukkan hasil kerja terbaiknya selama ia diberikan kepercayaan. Sekali ia merasa perusahaan atau atasan meragukan kemampuannya, maka ia akan mengingatnya. Ia bertekad untuk menunjukkan bahwa anggapan itu salah dengan memberikan hasil kerja terbaik, tapi juga tak segan keluar dari perusahaan untuk mencari kesempatan dan tantangan baru yang bisa membuatnya berkembang, di tempat lain.

4. Mengalami burnout akibat kerja berlebihan

Salah satu derita yang sering dialami oleh para high performer adalah terlalu banyak yang mengandalkan mereka. Tak jarang high performer ditempatkan pada proyek yang sangat sulit atau dimintai tolong untuk mengerjakan berbagai hal lain di luar pekerjaannya.

Awalnya, mungkin ia akan merasa senang karena merasa dipercaya untuk mengemban tanggung jawab lebih. Namun jika ini terjadi terus-menerus, jangan heran jika akhirnya si high performer mundur teratur karena kelelahan hingga akhirnya mengalami burnout.

“Kamu kan selalu ikut meeting koordinasi untuk proyek X dan pintar bikin presentasi. Tolong buatkan slides untuk proyek tersebut ya. Kita akan presentasi di meeting dengan para direktur besok.”

“Hi Lina, kamu kan jago bikin website dan paham banget tentang WordPress. Kalau begitu, bisa ya kamu menambahkan satu halaman di website perusahaan kita?”

“Lina, network kamu kan luas. Kamu juga kenal dengan business development (BD) manager perusahaan Y. Kamu yang hubungi dia dan atur jadwal meeting kita dengan tim BD mereka ya.”

Siapa yang tak lelah ketika menghadapi beragam pekerjaann yang tak ada sangkutannya dengan tugas utama kita di perusahaan? Meskipun kondisi seperti ini sering kali dipandang sebagai masalah pribadi—di mana high performer dianggap tak bisa berkata tidak—tapi sebenarnya ini merupakan masalah organisasi yang menganggap bahwa pekerja keras bisa “dihargai” dengan beban pekerjaan yang lebih banyak.

5. Tidak melihat potensi untuk berkembang di lingkungan kerja

Yang diinginkan oleh karyawan berkinerja tinggi bukan hanya memberikan kontribusi bagi perusahaan. Ia memiliki target untuk berkembang dalam berbagai hal—bukan hanya dalam jenjang karier dan penghasilan, tapi juga berkembang dalam pengalaman, keahlian, dan pencapaian. Ia pun ingin berkontribusi terhadap masyarakat.

Ketika ia tak melihat potensi untuk berkembang di lingkungan kerjanya, maka ia akan mulai mencari kesempatan di tempat lain dan tak akan ragu untuk mengajukan resign.

 

Nah Ladies, bisa kita lihat bahwa karyawan berkinerja tinggi, termasuk mereka yang bertalenta dan memegang fungsi penting dalam perusahaan, adalah yang paling berpotensi untuk keluar atau pindah ke perusahaan lain—terutama jika mereka merasa tidak mendapatkan apa yang mereka harapkan di perusahaan.

Mengingat bahwa para high performer memberikan value dan produktivitas yang tinggi bagi perusahaan, maka amat penting bagi pemilik perusahaan dan pemimpin untuk memperhatikan mereka, termasuk melindungi mereka dari potensi burnout.

Jika kamu menduduki posisi sebagai manajer atau pemimpin di perusahaan, kamu pun perlu menyadari bahwa para karyawan berkinerja tinggi memiliki kebutuhan dan tujuan yang ingin dicapai—bukan sekadar bekerja untuk mendapatkan gaji.

About Restituta Arjanti

Biasa dipanggil dengan nama tengahnya, Ajeng. Ia memulai kariernya sebagai Jurnalis. Dengan pengalaman lebih dari sepuluh tahun di Industri Media dan Teknologi, sekarang ia aktif sebagai penulis dan editor profesional serta konsultan di bidang Media, Konten, dan Public Relations.

View all posts by Restituta Arjanti →

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *