4 Alasan Mengapa Kita Perlu Berhenti Menyebut Perempuan Tegas: Judes

perempuan tegas
Ilustrasi Foto: Pixabay

Dunia kerja masih lekat dengan pandangan bahwa pemimpin perempuan yang tegas itu judes atau bitchy, sementara pemimpin laki-laki yang galak itu biasa dan bisa dimaklumi.

Masih ingat dengan film The Devil Wears Prada? Miranda Priestly, editor majalah fesyen Runway, yang diperankan oleh Meryl Streep, digambarkan sebagai sosok pemimpin yang tegas dan kejam—hal yang membuat dia dijuluki “Dragon Lady” oleh banyak orang di industri media.

Sementara itu, pemeran utama di film tersebut, Andrea Sach alias Andy, yang diperankan oleh Anne Hathaway, digambarkan sebagai fresh graduate yang bercita-cita untuk menjadi jurnalis. Sayangnya, alih-alih mendapatkan panggilan wawancara kerja dari surat kabar yang ia harapkan, Andy justru diundang wawancara dan mendapatkan pekerjaan sebagai asisten Miranda.

Namun, karena Andy mendengar bahwa posisi yang ia dapatkan itu adalah impian banyak orang, dan jika ia bisa bertahan bekerja satu tahun saja bersama Miranda, maka ia dijamin akan mudah mendapatkan pekerjaan di manapun; maka Andy memutuskan untuk mengambil pekerjaan tersebut.

Ada satu percakapan yang menarik di film itu, yakni saat Andy (A) dan Christian Thompson (C), seorang penulis muda yang selalu heran mengapa Andy tahan bekerja dengan Miranda, membicarakan sosok Dragon Lady tersebut.

C: She’s a notorious sadist… and not, not in a good way.

A: Okay, she’s tough, but if Miranda were a man, no one would notice anything about her, except how great she is at her job.

Baris percakapan itu menunjukkan pandangan umum masyarakat terhadap sosok pemimpin yang tegas. Kebanyakan orang menilai pemimpin perempuan yang tegas itu sadis, ketus, judes—hal-hal yang cenderung negatif. Sementara pemimpin laki-laki yang tegas adalah wajar, dan mereka dinilai dari seberapa hebat ia dalam pekerjaannya.

Faktor budaya

Setuju atau tidak, tapi perlakuan berbeda terhadap anak perempuan dan laki-laki sudah diberikan sejak mereka masih kecil, di lingkup keluarga. Kebanyakan orang tua tidak menuntut anak perempuan untuk lebih berani, lebih pintar, atau lebih aktif ketimbang anak laki-laki mereka.

Faktor budaya ini juga bisa dilihat di dalam organisasi. Seperti yang sudah disampaikan di atas tadi—laki-laki dituntut untuk tegas dalam memimpin, sementara perempuan yang memimpin dengan tegas sering disebut judes dan agresif. Padahal, perempuan punya bakat untuk menjadi pemimpin. Banyak pula perempuan yang sama berprestasinya dan sama tegasnya dengan laki-laki. Tapi, kenapa hanya perempuan yang tegas itu yang mendapat julukan judes?

Berikut ini empat alasan mengapa kita perlu berhenti menyebut perempuan yang tegas dengan sebutan judes:

1. Perempuan dituntut untuk menjalani peran ganda. Ladies, kamu yang sudah menikah pasti tahu banget soal ini. Yang belum menikah pun seharusnya juga paham. Sejak kecil kita sudah diajarkan untuk memberi perhatian kepada keluarga. Sewaktu kecil, kamu pasti sering membantu ibumu memasak di dapur, kan? Atau membantu ibumu belanja kebutuhan dapur di warung atau minimarket dekat rumah, sepulang sekolah. Ketika sudah bekerja, perhatian kita bertambah. Pekerjaan, deadline, rekan kerja dan atasan—semua menuntut perhatian. Karena itu pula perempuan terbiasa menyusun prioritas.

Sikap tegas diperlukan di rumah dan lingkungan kerja. Di rumah, sikap tegas dibutuhkan dalam mendidik anak. Sementara di kantor, sikap tegas dibutuhkan ketika menghadapi rekan kerja atau anak buah yang tidak bekerja dengan baik. Sikap tegas juga dibutuhkan oleh pemimpin perempuan ketika ia harus mengambil keputusan.

2. Menjadi pemimpin tegas, apalagi keras dan galak, itu tak mudah. Kalau kamu perhatikan, memang kebanyakan perempuan sukses punya sikap keras dan galak. Keras dan galak, berbeda dengan tegas lho, Ladies! Nah, mereka yang keras dan galak inilah yang pantas mendapat sebutan “Iron Lady”. Tapi sekali lagi, kamu juga mesti ingat bahwa untuk mencapai posisi puncak, banyak perempuan harus bekerja ekstra keras.

Sebagai perempuan, coba deh kamu berusaha menempatkan diri di posisi mereka. Menjadi seorang “Iron Lady” pun bukan hal yang mudah, karena seperti melawan hati naruni dan sifat kita sebagai perempuan.

3. Jangan menilai dari karakter luar saja. Menyebut perempuan yang tegas itu judes sama dengan menilai dia hanya dari karakter luarnya saja. Padahal sebagai manusia, karyawan, bos, manajer, rekan kerja, pasti ada kelebihan lain dari dirinya yang bisa kita nilai secara profesional. Lebih baik kamu fokus melihat kelebihan-kelebihan yang mereka miliki, dan menjadi terinspirasi dengan sisi baiknya. Kalau kamu hanya menilai kekurangan orang lain, tanpa sadar kamu sudah bersikap nyinyir dan menunjukkan bahwa kamu orang yang suka mengeluh lho! 😀

4. Setiap orang pasti mengorbankan sesuatu untuk sukses. Sukses itu tak bisa diraih hanya sekedipan mata. Banyak orang harus menempuh jalan yang terjal dan berbatu untuk sukses—perempuan atau laki-laki. Ada pula hal-hal yang harus mereka korbankan untuk mencapai posisi puncak. Tak jarang, orang sukses yang mengorbankan waktu untuk keluarganya. Oleh karena itu, jangan pula merasa iri melihat kesuksesan orang lain. Apalagi menyebut mereka (yang perempuan) judes.

Masih tentang film The Devil Wears Prada—ada satu adegan lain yang menarik perhatian. Dalam adegan tersebut ditampilkan sosok Miranda sedang down memikirkan kemungkinan perceraian dengan suaminya. Dia menyebutkan pula kekhawatirannya tentang bagaimana  berita tersebut akan mempengaruhi kedua anaknya. Meski singkat, adegan ini mampu menampilkan sisi yang lebih manusiawi dari seorang Dragon Lady. Di balik sikap tegasnya, ternyata ia bisa menyembunyikan emosi dan rasa sedihnya—satu hal yang belum tentu bisa dilakukan semua orang.

 

Ladies, daripada mengeluh atau bolak-balik menyebut bos atau rekan kerja perempuan kamu yang tegas sebagai orang judes, lebih baik kamu tanyakan pada diri kamu sendiri. Ingin menjadi sosok profesional seperti apakah kamu, apa yang ingin kamu raih, dan bagaimana caranya agar kamu bisa sukses di dunia kerja?

About Restituta Arjanti

Biasa dipanggil dengan nama tengahnya, Ajeng. Ia memulai kariernya sebagai Jurnalis. Dengan pengalaman lebih dari sepuluh tahun di Industri Media dan Teknologi, sekarang ia aktif sebagai penulis dan editor profesional serta konsultan di bidang Media, Konten, dan Public Relations.

View all posts by Restituta Arjanti →

One Comment on “4 Alasan Mengapa Kita Perlu Berhenti Menyebut Perempuan Tegas: Judes”

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *